Ketika
Ferdinand de Lesseps, seorang insinyur dari Prancis memimpin pembangunan Kanal
Panama pada tahun 1882 dia sama sekali tidak menduga bahwa sukses yang pernah
dia alami ketika membangun terusan Suez harus kandas di Panama. Tim Prancis
yang merupakan tim pertama yang bertanggung jawab terhadap pembangunan Kanal
tersebut gagal melaksanakan tugasnya, bahkan kemudian proyek tersebut
dihentikan. Tim tersebut kewalahan dengan adanya faktor x yang menyebabkan
sulitnya tenaga kerja bekerja secara produktif. Hampir sebagian tenaga kerja
tersebut sakit terserang malaria yang sama sekali tidak terdeteksi sebelumnya
oleh Tim Prancis. Bahkan diperkirakan selama periode enam tahun pembangunan
Kanal itu, 10 sampai 20 ribu jiwa meninggal akibat berbagai penyakit. Ketika
kemudian Amerika Serikat di bawah pimpinan Presiden Theodore Roosevelt
mengambil alih proyek tersebut pada awal tahun 1990-an, langkah pertama yang
dilakukan oleh tim AS adalah memanggil dokter William Gorgas dan dokter Ronald
Reed untuk membasmi sumber penyakit malaria lebih dulu. Pekerjaan ini dirasakan
berat, bahkan semula dianggap membuang waktu dan biaya, namun yang pasti
terjadi kemudian adalah pembangunan proyek miliaran US$ tersebut berjalan
lancar dan bahkan menjadi jalur strategis pelayaran penting di abad keduapuluh
ini.
Sepenggal kisah di atas hanyalah satu
ilustrasi untuk menggambarkan situasi yang sama dalam membangun desa.
Pencapaian pembangunan pedesaan yang tangguh haruslah dimulai dari membasmi
“masalah-masalah” yang melekat di desa. Sebagai contoh pendekatan yang
dilakukan dalam sektor pertanian[1]
misalnya, Smith dan Link dalam jurnal Fish
and Fisheries tahun 2005, menulis artikel yang provokatif berjudul “Autopsy your dead and living: a proposal
for fisheries science, fisheries management and fisheries”. Dalam artikel
tersebut kedua penulis menawarkan metode yang digunakan dalam dunia kedokteran,
yakni melakukan “otopsi” terhadap perikanan untuk membedah akar permasalahan
dan kebijakan yang selama ini dirasa kurang tepat. Dari “otopsi” inilah baru
kemudian dilahirkan kebijakan yang berbasis pada kegagalan masa lalu.
Selama ini masalah-masalah di pedesaan
seringkali tidak tampak di permukaan sebagai suatu permasalahan krusial yang
harus dipecahkan terlebih dahulu, padahal seringkali program-program pembangunan
pedesaan yang sedang dan akan dijalankan oleh pemerintah berada di jalan buntu
jika masalah di sektor ini tidak diatasi lebih dulu.
Perjalanan
sejarah desa menunjukkan bahwa pengaturan desa makin lama makin kehilangan
otonominya. Peraturan perundangan yang mengatur desa telah banyak diciptakan.
Namun setiap kali undang-undang yang mengatur tentang desa diciptakan, selalu
saja tidak pernah memiliki konsistensi. Ini terutama disebabkan proses
penyusunan undang-undang tentang desa selalu sarat dengan kepentingan politik[2].
Selain itu, proses politik itu selalu didominasi oleh kemauan pemegang
kekuasaan yang tidak mampu menyerap aspirasi tokoh dan masyarakat desa.
Akibatnya, pengaturan desa selalu menjadi wujud dari pemerintah pusat untuk
mengatur desa dan pada saat yang sama, desa semakin kehilangan karakteristknya
sebagai unit sosial kultural yang otonom.
Pengaturan
desa yang sangat sentralistik pada era Orde Baru, dengan melalui penerapan
Undang-Undang No 5 Tahun 1974 jo
Undang-Undang No 5 Tahun 1979, telah menghasilkan ketergantungan desa terhadap
pusat sekaligus memposisikan desa hanya sebagai unit teritorial administratif
belaka. Melalui Undang-Undang No 5 tahun 1979 pemerintah Orde Baru menempatkan
desa berkedudukan langsung di bawah Camat, dimana Camat merupakan Kepala
Wilayah yang menjalankan satuan pemerintah vertikal. Desa menjadi tempat dimana
segala macam program pembangunan yang sifatnya top down dilaksanakan, tanpa sedikitpun membuka ruang bagi
pelaksanaan otonomi desa yang selama ini menjadi ciri utama desa-desa yang ada
di Indonesia.
Selama
Orde Baru, pelembagaan pembangunan masyarakat desa yang mewarnai tata lembaga
seluruh konfigurasi politk nasional telah membangun ketergantungan dan
ketidakberdayaan rakyat, terutama di daerah pedesaan. Menurut Mochammad Maksum
Machfoedz[3],
hal yang menyedihkan adalah bahwa kemunduran selama beberapa dekade ini justru
terjadi karena pembangunan telah menjajah, dan menempatkan rakyat pedesaan
sebagai instrumen, alat pembenar dan legitimasi proyek belaka. Dalam proses
pembangunan yang selama ini dilaksanakan, di mana masyarakat pedesaan
ditempatkan sebagai obyek, negara telah gagal, apalagi menjadikan masyarakat
sebagai subyek pembangunan.
Industrialisasi
yang didengung-dengungkan oleh rezim Orde Baru, pada kenyataannya justru telah
menciptakan permasalahan yang sangat mendasar dalam pembangunan pedesaan.
Industrialisasi yang bersifat padat modal dan padat teknologi, pada
kenyataannya sangat menganaktirikan agro-industri sehingga tidak banyak membuat
perubahan dan kemajuan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, yang mayoritas
tinggal di desa. Krisis ekonomi dan krisis multidimensi yang berkepanjangan
pada dasarnya merupakan akibat dari terjadinya sentralisasi peran negara yang
berlebihan dalam proses industrialisasi, sedang pada saat yang sama, sektor
pertanian dan masyarakat pedesaan mengalami proses peminggiran.
Pada
saat yang bersamaan dengan proses industrialisasi, laju arus globalisasi terasa
sangat kuat menerpa masyarakat pedesaan. Jika pada sektar tahun 1950-1960-an
ada gerakan modernisasi desa, maka semenjak awal Orde Baru, akselerasi
modernisasi desa dengan segala dampaknya masuk ke segenap relung kehidupan
masyarakat desa. Pembangunan sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi
telah menyingkirkan isolasi geografis dan hambatan-hambatan sosial kultural
yang selama ini melingkupi masyarakat pedesaan. Relasi desa kota makin lama
makin kuat dan jarak desa-kota seakan menjadi semakin dekat. Tak dipungkiri,
pengaruh budaya kota, modern dan industrial masuk menusuk langsung ke jantung
kehidupan masyarakat pedesaan. Pengaruh ini jelas akan menghasilkan dampak
positif maupun negatif. Desa menjadi semakin terbuka, potensi ekonomi desa
makin mendapat akses, kesejahteraan (sebagian) masyarakat dapat meningkat
akibat dari terbukanya peluang ekonomi bagi masyarakat pedesaan.
Namun,
tak dapat dipungkiri. Tata nilai dan struktur sosial budaya masyarakat pedesaan
yang selama ini menjadi landasan kehidupan masyarakat mengalami goncangan kuat.
Kuatnya tarikan kota terhadap desa menyebabkan laju urbanisasi dengan segala
untung ruginya, baik bagi desa maupun kota tujuan, mengalami peningkatan pesat.
Pelapukan tenaga potensal yang ada di pedesaan sebagai akibat larinya generasi
muda yang berpendidikan menuju kota, untuk meraih gemerlapnya fatamorgana
kehidupan kota yang serba glamor dan makmur, yang merasa jengah dengan
kemiskinan dan keterbelakangan desa tempat kelahirannya.
Meningkatnya
peredaran uang di pedesaan yang terjadi sejalan makin intensifnya hubungan desa
kota, sangat besar pengaruhnya terhadap relasi sosial berbasis budaya dan
kearifan lokal. Budaya sambatan, gugur gunung, kerigan, gotong royong dan kerukunan sebagai modal sosial yang
kokoh mendasari solidaritas sosial masyarakat pedesaan, porak poranda akibat
masuknya proyek Padat Karya, kebijakan pembagian Raskin, Bantuan Langsung Tunai
dan sejenisnya.
Menumpuk
dan beragamnya persoalan yang dihadapi masyarakat pedesaan sejak awal
kemerdekaan, kemudian mengalami akselerasi yang tinggi sejak awal Orde Baru
hingga sekarang ini, menjadi persoalan yang sepertinya mustahil untuk dapat
dipecahkan namun bukan berarti tidak dapat dipecahkan. Mengingat kompleksitas
interaksi antara masyarakat dan sumberdaya alam di pedesaan, permasalahan
yang melekat di dalamnya khususnya
agro-industri bersifat sangat path
dependence. Artinya permasalahan pembangunan pedesaan dan penyelesaiannya
akan sangat tergantung pada bagaimana kita mengambil pelajaran dari
kegagalan-kegagalan yang terjadi di masa lalu.
Tidaklah mengherankan apabila pendekatan pengelolaan agro-industri negara-negara maju kemudian didasarkan pada apa yang disebut Back to the Future[4]. Mereka harus merekonstruksi kembali kesalahan serta keberhasilan pengelolaan pertanian sebelumnya dalam skala waktu dan ruang yang berbeda. Path dependency ini mengharuskan kita untuk mengupas lebih dulu masalah-masalah internal dan eksternal yang mengganggu kelancaran pembangunan pedesaan. Dari sinilah kemudan dapat ditarik kebijakan untuk mengelola sumberdaya alam dan pertanian di desa secara berkelanjutan.
Yogyakarta, 2 Oktober 2014
Catatan: tulisan ini merupakan sebagian “Pendahuluan”dalam project pembuatan buku Mengelola Desa Penghasil Migas: Studi Pengembangan Wilayah Bojonegoro di Tiga Desa Petani oleh tim KKN-PPM UGM, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Bojonegoro 2014.
Tidaklah mengherankan apabila pendekatan pengelolaan agro-industri negara-negara maju kemudian didasarkan pada apa yang disebut Back to the Future[4]. Mereka harus merekonstruksi kembali kesalahan serta keberhasilan pengelolaan pertanian sebelumnya dalam skala waktu dan ruang yang berbeda. Path dependency ini mengharuskan kita untuk mengupas lebih dulu masalah-masalah internal dan eksternal yang mengganggu kelancaran pembangunan pedesaan. Dari sinilah kemudan dapat ditarik kebijakan untuk mengelola sumberdaya alam dan pertanian di desa secara berkelanjutan.
Yogyakarta, 2 Oktober 2014
Catatan: tulisan ini merupakan sebagian “Pendahuluan”dalam project pembuatan buku Mengelola Desa Penghasil Migas: Studi Pengembangan Wilayah Bojonegoro di Tiga Desa Petani oleh tim KKN-PPM UGM, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Bojonegoro 2014.
[1]
Pertanian yang di maksud adalah pertanian dalam arti luas meliputi budidaya
tanaman pangan, holtikultura, peternakan, kehutanan dan perikanan.
[2]
“RUU Desa bukan Jaminan bagi Desa untuk Berdaulat,
Mandiri, dan Berkembang”.
http://ugm.ac.id/en/berita/448-ruu.desa.bukan.jaminan.bagi.desa.untuk.berdaulat.mandiri.dan.berkembang.
5
September 2008.
[3]
Machfoedz, M. M. 2008. Kembali Ke
Pedesaan dan Pertanian: Landasan Rekonstruksi Perekonomian Nasional. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Gadjah Mada. Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
[4]
BTF merupakan pendekatan terpadu yang dicetuskan oleh Tony Pitcher, seorang
ahli pembangunan perikanan dari Kanada. Pada intinya, BTF menawarkan suatu
pendekatan dengan menggunakan informasi ekosistem masa lalu (back) untuk dijadikan panduan kebijakan
di masa mendatang (to the future).
Filosofi BTF adalah “...rebuilding as
proper goal of fisheries management...” Dalam hal ini, BTF penulis gunakan dalam
konteks yang lebih luas lagi, yaitu bukan hanya sebatas informasi eksosistem,
namun lebih kepada kebijakan pembangunan pertanian dan pedesaan secara umum.Repos Oleh KIM Gapluk Ceria
0 komentar:
Posting Komentar