Di Indonesia, mata pelajaran Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) adalah salah satu muatan lokal yang
umum ditemui. Banyak juga sekolah yang mengizinkan murid-muridnya membawa
laptop untuk kepentingan mencatat atau browsing informasi saat
di kelas. Selesai sekolah, anak-anak ini pun bukannya pulang ke
rumah untuk istirahat; mereka justru kembali akrab dengan iPad atau game konsol
mereka dengan alasan refreshing setelah seharian belajar.
Saking sudah umumnya, sebagian dari kita mungkin menganggap fenomena ini
sah-sah saja.
Tapi tunggu! Mari sejenak jalan-jalan ke
Silicon Valley, sebuah kawasan di Amerika dimana perusahaan-perusahaan
teknologi top dunia berkantor. Di tempat ini terdapat fakta yang akan membuat
kita berpikir ulang,
“Apakah keputusan mengenalkan komputer pada
anak sejak usia dini itu tepat?”
Para
petinggi Google, Apple, Yahoo, HP hinggaeBay mengirim
anak-anaknya ke sekolah yang sama sekali tak punya komputer
petinggi perusahaan teknologi mengirim
anak-anaknya ke sekolah tanpa komputer via galleryhip.com
Ketika sekolah-sekolah lain memasukkan
komputer dalam kurikulum dan berlomba membangun sekolah digital, Waldorf School
of the Peninsula justru melakukan sebaliknya. Sekolah ini dengan sengaja
menjauhkan anak-anak dari perangkat komputer.
Sekolah Waldorf justru fokus pada
aktivitas fisik, kreativitas, dan kemampuan ketrampilan tangan para murid.
Anak-anak tak diajarkan mengenal perangkat tablet atau laptop. Mereka biasa
mencatat dengan kertas dan pulpen, menggunakan jarum rajut dan lem perekat
ketika membuat prakarya, hingga bermain-main dengan tanah setelah selesai
pelajaran olahraga.
Guru-guru di Waldorf percaya bahwa komputer
justru akan menghambat kemampuan bergerak, berpikir kreatif, berinteraksi
dengan manusia, hingga kepekaan dan kemampuan anak memperhatikan pelajaran.
Para petinggi di dunia IT ini membela keputusan
sekolah Waldorf untuk tak memperkenalkan komputer ke anak-anak mereka
Waldorf, mengenalkan metode belajar tanpa
komputer via www.nymetroparents.com
Banyak yang menganggap bahwa kebijakan yang
dibuat Waldorf itu keliru. Meski metode pembelajaran yang mereka gunakan
sudah berusia lebih dari satu abad, perdebatan soal penggunaan komputer dalam
proses belajar-mengajar masih terus berlanjut.
Menurut para pendidik dan orangtua murid di
Sekolah Waldorf, sekolah dasar yang baik justru harus menghindarkan
murid-muridnya dari komputer. Ini disetujui oleh Alan Eagle (50), yang
menyekolahkan anaknya Andie di Waldorf School of the Peninsula:
“[Anak saya baik-baik saja, meskipun] tak
tahu bagaimana caranya menggunakan Google. Anak saya yang lain, yang sekarang
di kelas dua SMP, juga baru saja dikenalkan pada komputer,” tutur
Eagle, yang bekerja untuk Google.
Eagle tak mempermasalahkan ironi antara
statusnya sebagai staf ahli di Google dan kondisi anak-anaknya yang gaptek.
“Misalkan saja saya seorang
sutradara yang baru menelurkan sebuah film dewasa. Meski film
itu didaulat sebagai film terbaik yang pernah ada di dunia sekalipun, saya
toh tak akan membiarkan anak-anak saya menonton film itu kalau umur mereka
belum 17 tahun.”
Tanpa
perangkat komputer atau kabel, kelas-kelas di Waldorf punya tampilan
klasik dengan papan tulis dan kapur warna-warni
Waldorf punya tampilan klasik nan unik via chicagowaldorf.org
Sekolah Waldorf tampil dengan gaya ruangan
kelas yang klasik. Tak banyak perangkat elektronik, layar-layar komputer,
atau kabel-kabel yang menghiasi ruangan. Berhias dinding-dinding kayu, kamu
hanya akan menemukan papan tulis penuh coretan kapur warna-warni. Ada rak-rak
penuh berbagai jenis ensiklopedia hingga meja-meja kayu dengan tumpukan
buku-buku catatan dan pensil.
Andie yang duduk di kelas 5 mendapat
pelajaran membuat kaos kaki. Ketrampilan merajut dipercaya membantu anak-anak
belajar memahami pola dan hitungan. Menggunakan jarum dan benang bisa mengasah
kemampuan memecahkan masalah dan belajar koordinasi. Saat pelajaran bahasa di
kelas 2, anak-anak akan diajak berdiri melingkar. Mereka diminta mengulang
kalimat yang diucapkan guru secara bergiliran. Gilirannya ditentukan dengan
melempar penghapus atau bola. Ternyata, metode belajar ini bisa jadi salah satu
cara untuk mensinkronkan tubuh dan otak.
Guru kelas Andie, Cathy Waheed, mengajarkan
anak-anak mengenal pecahan dengan metode yang sangat sederhana. Yup,
Waheed menggunakan buah apel, kue pai, atau roti yang dipotong-potong lalu
dibagikan pada murid-muridnya.
“Saya yakin dengan cara ini mereka bisa lebih
mudah mengenal hitungan pecahan,” ujar Waheed, yang merupakan lulusan Ilmu
Komputer dan sempat bekerja sebagai teknisi
Menurut
guru-guru Waldorf, mengajarkan siswa memakai komputer tak akan
membuat mereka bertambah pintar. Sampai saat ini belum ada penelitian yang
bisa menjelaskan kaitan keduanya.
belum ada fakta yang mengaitkan penggunaan
komputer dan prestasi siswa via www.bacwtt.org
Selain dari pengajar dan orang tua murid,
para ahli pendidikan pun menegaskan:
“Penggunaan komputer di ruang kelas
sebenarnya tidak ada alasan ilmiahnya. Sampai saat ini toh belum ada
penelitian yang membuktikan bahwa keterampilan menggunakan komputer
akan berpengaruh pada nilai tes atau prestasi mereka.”
Nah, apakah belajar hitungan pecahan dengan
memotong apel atau merajut jauh lebih baik? Bagi Waldorf, pertanyaan ini sulit
dibuktikan. Sebagai sekolah swasta, Waldorf tak berpedoman pada tes-tes dasar
yang serupa dengan sekolah-sekolah lain. Mereka pun memang mengakui bahwa
murid-muridnya tak akan dapat nilai setinggi anak-anak sekolah negeri jika
diminta mengerjakan soal-soal tes umum. Bukan karena mereka bodoh, namun karena
murid-murid Waldorf memang tak dijejali teori-teori matematika dasar sesuai
kurikulum.
Namun, ketika diminta membuktikan efektivitas
pendidikan di Waldorf, Association of Waldorf School di
Amerika Utara menayangkan hasil penelitian yang tak main-main:
“94% siswa lulusan SMA Waldorf di
Amerika Serikat di antara tahun 1994 sampai 2004 berhasil masuk di berbagai
jurusan di kampus-kampus bergengsi seperti Oberlin, Berkeley, dan Vassar.”
Selain faktor minimnya teknologi, kualitas
pengajar yang baik di Waldorf juga dinilai berpengaruh pada keberhasilan
sekolah tersebut mengirim anak-anaknya ke universitas-universitas bergengsi di
Amerika. Waldorf memang tak sembarangan dalam memilih guru. Selain
berpendidikan tinggi, mereka harus memiliki jam terbang yang mumpuni. Wajar
saja jika Waldorf kemudian berhasil mengembangkan anak didik mereka menjadi
hebat dan berprestasi.
Kualitas inilah yang kemudian membuat
para orangtua percaya pada metode pengajaran Waldorf. Salah satu orangtua
tersebut adalah Pierre Laurent (50), pendiristartup yang
sebelumnya bekerja di Intel dan Microsoft. Bahkan saking terkesannya dengan
metode Waldorf, Monica Laurent, istri Pierre, bergabung menjadi guru di sekolah
ini sejak tahun 2006.
Waldorf
memegang filosofi bahwa belajar-mengajar bukan perkara sederhana. Ini
tentang bagaimana seharusnya menjadi manusia.
belajar adalah pengalaman yang berharga via www.erziehungskunst.de
Sebenarnya menurut Waldorf, memilih
menggunakan teknologi komputer atau tidak bisa jadi sifatnya subyektif
atau perkara pilihan. Terserah saja, menurut kebijakan sekolah
masing-masing. Namun yang harus dicatat: ketika anak sudah dibiarkan lekat
dengan komputer sejak dini, bisa saja ia akan ketergantungan dan
sulit melepaskan gawai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Ann Flynn — petinggi National School
Boards Association yang membawahi sekolah-sekolah negeri di
Amerika — tetap bersikeras bahwa pelajaran komputer itu penting. Sementara Paul
Thomas, mantan guru dan profesor pendidikan yang sudah menulis lebih dari 12
buku tentang metode pendidikan publik, lebih setuju pada Waldorf. Baginya,
pendekatan yang minim teknologi di dalam kelas justru sangat bermanfaat.
“Mengajar adalah pengalaman manusia.
Teknologi justru bisa jadi gangguan ketika mengenal huruf dan angka, belajar
hitungan, dan berpikir kritis, “ ungkap Thomas.
Keahlian
di bidang IT adalah modal untuk bersaing di dunia kerja. Tapi,
haruskah itu menjadi alasan untuk mengenalkan komputer pada anak sejak dini?
apakah mengenalkan komputer sejak dini itu
tepat? via www.thecityschoolla.org
“Komputer itu sangat mudah. Kami di Google
sengaja membuat perangkat yang ibaratnya bisa digunakan tanpa harus berpikir.
Anak-anak toh tetap bisa mempelajari komputer sendiri jika usia
mereka sudah dewasa.”
– Alan Eagle.
Singkatnya, Eagle menjelaskan bahwa komputer
itu mudah dan bisa dipelajari lewat kursus kilat sekalipun. Jadi buat apa
“membunuh” kreativitas alami anak dengan memaksa mereka mempelajari komputer
sejak dini?
Bukan berarti anak-anak di Waldorf dan
Silicon Valley sama sekali tak melek teknologi. Siswa-siswa kelas V di
Waldorf mengaku sering menghabiskan waktu mereka dengan menonton film di
rumah. Seorang siswa yang ayahnya bekerja sebagai teknisi di Apple mengaku
sering diminta mencoba game baru ciptaan sang ayah. Sementara
seorang murid biasa berkutat dengan flight control system di akhir
pekan bersama orang tuanya.
Justru anak-anak ini sudah mendapat
pengetahuan teknologi dalam porsi yang pas, mengingat kebanyakan orangtua
mereka adalah penggiat industri teknologi. Berkat didikan di Waldorf, anak-anak
Silicon Valley mengaku tak nyaman saat melihat orang-orang di sekitarnya sibuk
dengan gadget mereka.
“Aku lebih suka menulis dengan kertas dan
pulpen. Ini membuatku bisa membandingkan tulisanku saat kelas I dengan
yang sekarang. Kalau aku menulis di komputer ‘kan… gaya tulisannya sama semua.
Dan kalau komputermu tiba-tiba rusak atau mendadak mati listrik, pekerjaanmu
jadi tak selesai ‘kan?” ungkap Finn Heilig, yang ayahnya bekerja di
Google.
Sekali lagi, metode pendidikan tanpa komputer
bukannya bermaksud menutup akses anak untuk mengenal teknologi. Kelak, di usia
tertentu mereka tetap punya kesempatan untuk mempelajarinya. Sementara di masa
kanak-kanak, mereka berhak mendapat kesempatan menjadi sebenar-benarnya
anak-anak.
Bagaimana nasib adik-adikmu atau
anak-anakmu sendiri kelak? Apakah lebih baik mereka dikenalkan dengan gadget dan
perangkat teknologi sejak dini, atau lebih baik menunggu sampai saat yang
benar-benar tepat?
Sumber : http://www.hipwee.com/motivasi/saat-anak-atau-adikmu-main-ipad-anak-anak-bos-google-dan-apple-justru-main-tanah-di-sekolah/
0 komentar:
Posting Komentar